A.
HUKUM PERKAWINAN
ADAT DAYAK MUALANG
Pada awalnya di suku Mualang belum ada hukum perkawinan. Ketika itu mereka
masih berada di Benua Tampun Jauh (di daerah Segumon, Kecamatan Balai Karangan, Kabupaten Sanggau). Aturan satu-satunya adalah
tidak memperbolehkan pernikahan orang yang masih terikat hubungan darah. Bila
aturan ini dilanggar, malapetaka akan terjadi di bumi. Untuk menghentikan
malapetaka tersebut mempelai haram ini diikat dalam keadaan berpelukan kemudian
ditembuskan dengan tombak, kemudian mayat mereka dilemparkan ke sungai. Inilah
yang dialami oleh Juah dan Sangka yang kawin masih saudara sepupu. Peraturan itu akhirnya diubah ketika salah seorang putri Petara Seniba
sendiri yang membuat kesalahan. Beginilah garis besar kisahnya.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pria bernama Keseka’. Sudah tujuh kali ia beristri
dan semua perempuan itu meninggal dunia, Keseka’ merana. Penderitaannya menimbulkan rasa iba Petara Seniba. Petara
Seniba menurunkan putrinya dari langit dalam sebuah ruas bambu besar. Nama
putri itu adalah Dara Jantung. Ketika dua sejoli itu berjumpa, mereka saling
jatuh cinta dan menikah. Kemudian,
Dara Jantung melahirkan seorang anak laki-laki bernama Bujang Panjang. Setelah
anaknya pandai berbicara, Dara Jantung terbang ke langit, kembali ke tempat
asalnya. Ketika Bujang Panjang dewasa pergilah ia mencari ibunya sampai ke
khayangan (langit). Di khayangan ia berjumpa ibunya dan adik bungsu ibunya yang
sangat cantik. Mereka berdua saling jatuh cinta dan tidur bersama tanpa
sepengetahuan Petara Seniba. Ketika kandungan putri bungsunya membesar dan
mengetahui bahwa Bujang Panjang yang menghamilinya, marahlah Petara Seniba dan
berkata kepada putrinya, “Kamu
berdua telah berbuat dosa karena telah bersetubuh. Bujang adalah anak kakakmu,
kalian tidak boleh kawin, kalian berdua
telah melanggar adat Mali yang berat.
Oleh karena itu, aku harus
membunuh babi Pemali untuk
menebus kesalahan kalian berdua.”
Maka bergegaslah Petara Seniba pergi mengambil 7 ekor babi Pemali. Ketujuh
babi pemali itu dibunuh di tempat berlainan, antara lain:
1. Babi pertama dibunuh di bumbung rumah (atap rumah),
dipersembahkan kepada dewa-dewa yang berada di langit ketujuh supaya tidak
menurunkan malapetaka ke bumi.
2. Babi kedua dibunuh di dalam rumah dan darahnya
dioles ke dahi dua sejoli tadi supaya dewa-dewa tahu keduanyalah yang melakukan
kawin mali dan diharapkan tidak
terulang lagi kepada turunannya.
3. Babi ketiga dibunuh di ganggang rumah (serambi rumah),
dipersembahkan kepada Senggalang Burung dan segala roh jahat, sebab kalau tidak
diberi makan mereka mengacaukan orang yang kawin di dalam rumah.
4. Babi keempat di bunuh di tanah, dipersembahkan kepada Puyang Gana (penguasa tanah), supaya tidak merusak
tanaman.
5. Babi kelima di bunuh di kebun
buah-buahan, supaya pohon-pohon yang di tanam dapat tumbuh subur.
6. Babi keenam dibunuh di pohon Lalau (pohon tempat lebah bersarang)
supaya kalau kedua mempelai tadi memanjat
pohon mengambil lebah madu tidak disambar petir.
7. Babi ketujuh dibunuh di sungai
dan dihanyutkan supaya raja Juata yang berdiam di air tidak mengutuk mereka
berdua.
Berdasarkan upacara penebusan itu, Petara Seniba berpesan kepada Bujang
Panjang apabila ia pulang ke bumi harus mengajarkan aturan-aturan itu dalam
urusan perkawinan. Bujang Panjang pun turun ke bumi dan menerapkan
aturan-aturan tersebut di bumi. Dari sinilah lahir hukum adat perkawinan Dayak
Mualang, hukum ini berlangsung turun-temurun secara lisan dan disahkan oleh
Pangeran Haji Gusti Ahmad yang menjadi wakil panembahan di Sekadau tahun 1928.
Adapun dalam prosesi adat perkawinan Dayak Mualang, ada hukum-hukum adat
yang diberlakukan. Contohnya, Perkawinan Betaban
(kawin lari). Perkawinan
Betaban dibagi menjadi dua kategori yaitu Beramau (melarikan anak gadis orang) dan Berangkat (melarikan isteri orang).
1. Beramau
Untuk
Beramau mereka harus membayar denda babi pemali sebanyak 3 renti (1 renti = 11 cm diameternya)
dan 6 tahil (1 tahil = 5 buah
mangkok) + 1 tempayan.
2. Berangkat
Untuk berangkat
juga dikenakan denda babi 3 renti dan 1 ekor ayam. Selain itu hamil diluar
nikah (ngampang) juga dikenai
sanksi adat. Demikian juga kasus-kasus perzinahan, kawin mali, dikenakan sanksi
adat berdasarkan keputusan temenggung adat setelah melalui proses perkara yang
diketahui oleh masyarakat umum.
Upacara
perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk
pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong
ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria
biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang
mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah
mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut
Sapput, itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan
lain-lain.
Seorang gadis
Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia
dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan
penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan
menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon
yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang
gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada
orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di
kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap
sebagai martabat keluarga wanita.
B.
HUKUM ADAT PATI
NYAWA DAYAK MUALANG
Membunuh baik sengaja atau
tidak sengaja menurut hukum adat Dayak sangat tidak dibenarkan. Pelaku
pembunuhan ini dengan sendirinya dikenakan adat Pati Nyawa. Tidak heran jika terjadi pembunuhan, maka pelakunya
akan dikenakan hukum adat yang sangat berat. Tapi tidak berarti bahwa korban
akan sebebas mungkin menuntut jumlah adat yang sebesar-besarnya kepada pelaku. Ketentuan tidak tertulis ini berlaku dalam adat Pati Nyawa Dayak
Mualang. Hukum adat Pati Nyawa
secara struktur berbeda dengan adat perdamaian.
Tujuannya adalah untuk
menghindari pertikaian yang berujung pada dendam kesumat. Bila terjadi hal
seperti ini maka hukum yang dipakai adalah hukum adat perdamaian. Hukum ini
secara umum adalah untuk mencari solusi tepat bagi kedua belah pihak yang
terkait masalah.
Salah satu contoh adat Pati
Nyawa dikenakan pada Ita seorang ibu tiri yang membunuh anaknya Adop yang
berusia 8 tahun. Ita melakukan perbuatannya pada 21 Agustus tahun 2001 di
daerah Sepantak Desa Sungai Ayak II Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau). Akibat perbuatannya, Ita dijatuhi hukuman adat membayar denda sebesar Rp 15 juta. Jumlah ini menjadi besar karena
menurut adat Pati Nyawa Mualang, semua bagian tubuh korban dihitung dalam
takaran adat.
Secara rinci hukuman yang
dikenakan pada Ita sebagai beriku:
1.
Tubuh (badan) diganti dengan Tajau Bulu Bayan 1 buah, dengan denda adat 40 real atau setara dengan Rp 4 juta.
2.
Pa’ (paha) diganti dengan Lila
Tembaga 1 buah, dengan denda adat 35 real
setara dengan Rp 3,5 juta.
3.
Suara diganti dengan Tawak Lima
Keliling 1 buah, dengan
denda adat 15 real atau Rp 1,5 juta.
4.
Palak (kepala) diganti Manduh 1
buah, dengan denda 5 real atau Rp 500 ribu.
5.
Penengak (telinga) diganti Par Tembaga 1 buah, denda 2 real atau Rp 2 juta.
6.
Mata diganti duit Perak 2 keping, denda 2 real senilai Rp 200 ribu.
7.
Idung (hidung) diganti Beliung dan Perdah 1 pasang, denda 1 real senilai
Rp 100 ribu.
8.
Buuk (rambut) diganti Utun Ijuk Unau 1 Utun (ikat), denda ½ real atau Rp 50 ribu.
9.
Dilah (lidah) diganti Buah Penawan 1 buah, denda 2 real atau Rp 200 ribu.
10. Gigi diganti Langkek 1
buah, denda ½ real senilai Rp 20 ribu.
11. Untak (otak) diganti Emas Murni 5 gram, denda 5 real setara Rp 500
ribu.
Selain dari itu segala
sesuatu yang berfungsi pada organ tubuh manusia seperti tulang, urat, jantung
dan lain-lain juga dinilai dalam hitungan sanksi adat.
12. Tulang diganti Besi Spring 1 batang, denda 1
real atau Rp 100 ribu.
13. Urat diganti Kawat Waja 25
sta, denda 1 real atau Rp 100 ribu.
14. Tusu (susu) diganti dengan Selpa Tembaga 2 buah, denda 1
real atau Rp 100
ribu.
15. Jantung diganti Gelas Perak
1 buah, denda 2 real senilai Rp 200
ribu.
16. Ati (hati) diganti Cincin
Mata Delima 1 buah, denda 6
real
atau Rp 600
ribu.
17. Perut diganti Rantai
Manila/Perak 7 sta, denda 7
real atau Rp 700 ribu.
18. Kemalu (kemaluan) diganti
dengan Gernong Baukir 1 buah, denda 5
real atau Rp 500 ribu.
19. Tapak (telapak) diganti
Pinggan Patah Jelapan 4 buah, denda ½
real atau Rp 50 ribu.
20. Tunjuk (jari) diganti
Serpang Mata Lima 1 buah, denda ½ real seharga Rp 50
ribu.
21. Tanaga (kekuatan) diganti
Manuk Renjau (ayam jantan) 1 ekor, 3 kg denda atau ½ real
Rp 50 ribu.
22. Kulit diganti Bidai 7 Dejak 1 belah, denda 2 real atau Rp 200
ribu.
23. Peramu (pakaian) diganti 1
Kain Tenun Sirat, denda 1 ½ real
setara Rp 150
ribu.
24. Darah diganti 1 buah Tajau
diisi Beram (tuak) 10 botol, denda 4
real setara Rp 400 ribu.
25. Penantai darah (tempat
tampungan darah) diganti Par Tembaga 1
buah denda, atau 2 real Rp 200 ribu.
26. Gemuk-isek (lemak-daging)
diganti Beras Pulut 5 kulak (gantang), denda ½ real atau Rp 50
ribu.
27. Adat I (adat tambahan yang
harus dilaksanakan) diganti Babi 1 renti (20 kg)
sebanyak 60 kg, denda 6 real atau Rp 600 ribu.
28. Adat II (adat tambahan)
diganti Manuk Tumbuh Tugang 3 kg sebanyak
1 ekor, denda ½ real atau Rp 50 ribu.
29. Adat III (adat tambahan)
diganti Beras biasa 50 kg sebanyak 20 kulak, denda 1 real atau Rp 100
ribu.
Begitu lah detailnya hukum
adat merinci bagian tubuh manusia dalam adat Pati Nyawa Dayak
Mualang, ini menunjukkan juga
penghargaan yang sangat tinggi terhadap seorang manusia. Meninggalnya seseorang
berarti kehilangan yang sangat besar, karenanya pelakunya harus dijatuhi hukuman yang setimpal.
C.
HUKUM ADAT TUNGU
ANTU DAYAK MUALANG
Hari itu, Lugu seorang warga Kampung Semadu, Kecamatan
Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau berjuang melawan sakit perut yang menderanya.
Perutnya rasa ditusuk, rasa sakitnya luar biasa, tidak jelas apa penyakit yang
menyerangnya. Berbulan lamanya ia menderita sakit tersebut. Pihak keluarga Lugu
telah mengusahakan berbagai cara pengobatan, dari mantri hingga paranormal.
Setelah hampir putus asa mencari obat, suatu hari
keluarga dan beberapa rekannya teringat bahwa mereka telah mengganggu pinggir
kuburan Kampung Semadu. Saat itu mereka membuat teradak atau rintisan batas ladang dengan pinggir hutan untuk
menghindari api tidak menjalar saat membakar, sayangnya rintisan teradak ada
yang mengenai pinggir kuburan.
Keluarga Lugu menduga penyakit yang diderita Lugu
pasti berawal dari soal teradak tersebut. Teradak yang mengenai pinggir
kuburan, telah membuat penghuni kuburan murka dan dilampiaskan kemarahannya
kepada Lugu, sehingga ia sakit keras. Menurut keyakinan orang Dayak Mualang,
pada saat melakukan aktivitas berladang seperti menebas, menebang, membakar
pada lahan yang berdampingan dengan kuburan, kegiatan tersebut tidak boleh
mengakibatkan kayu di sekitar kuburan layu atau terbakar apalagi sampai
mengganggu pekuburan.
Kegiatan yang
mengganggu tersebut dapat mengakibatkan roh penghuni kuburan marah dan orang
yang dikira mengganggu dapat ditimpa kemalangan atau penyakit. Jika orang yang
bersangkutan merasa mengalami penyakit atau musibah yang tidak diketahui
penyebabnya dan orang tersebut merasa kegiatan atau tindakannya telah secara
sengaja atau tidak sengaja mengganggu kuburan, orang itu dapat mengadakan adat
membayar denda kepada hantu atau roh penghuni makam yang disebut Tungu Antu
atau Nyurung Adat ka Antu.
Kasus penyakit misterius yang menimpa Lugu, telah
meyakinkan Lugu dan keluarganya bahwa hal itu disebabkan oleh tindakan mereka
yang telah mengakibatkan roh di kuburan marah. Kemudian, keluarga Lugu
memanggil Muri Entubik Temenggung Adat Semadu untuk memutuskan perkara dan
membantu menjalankan adat Tungu Antu.
Menurut Muri, ketentuan denda adat untuk Tungu Antu
adalah 3 tail mangkal = 15 buah mangkok, 1 ekor ayam, 1 botol tuak.Ayam dan
tuak harus dihabiskan di tempat upacara adat saat itu juga. Lalu mangkok, ayam
dan tuak diantar ke kuburan, atau bisa juga disimpan di jalan menuju ke makam.
Sedangkan materi adat seperti mangkok ditinggal selama 3 hari 3 malam, setelah
itu diambil lagi.
Ketika meletakkan denda adat di lokasi kejadian,
penyurung adat atau temenggung pemutus perkara mengucapkan kata-kata, “Mali adai te bunuh ka bukuh, te tunan ka
rian, adai nama’ nangkak; to’ utang to’ kami malas, antek ulun to’ kami
ngelepas, nang kita’ ngaru ngericau” yang artinya “Mungkin ada kami
menebang-membunuh cempedak, durian, dan nangka, ini hutang kami bayar, jika
ulun ‘pembantu orang mati di kuburan’ ini kami lepaskan, jangan kalian
mengacau-mengganggu kami lagi.”
Setelah tiba di rumah si sakit, pemutus perkara adat
mengucapkan kata-kata, “To’ apa muah
apa nacah, upa sengkit upa selama, upa suba’ upa mula, baik panci, angas
ngalah, nema buat adat udah de surung” yang artinya “Ini sudah tidak ada
yang menyebabkan sakit lagi, sudah bagus, sudah sehat karena adat sudah
dipenuhi.”
Kemudian 3 malam berikutnya mangkok diambil. Menurut
Muri, mangkok tidak boleh ditinggal lebih dari 3 malam, tapi ada toleransi
sampai 4 malam. Ketika mengambil mangkok, tidak ada adat lagi. “Mengenai denda
adat, tidak boleh diganti dengan benda apa pun,” kata Muri.
Setelah Lugu dan keluarganya mengadakan adat Nyurung
Adat ka Antu, penyakit misterius yang dideritanya berangsur sembuh. Tentu,
penyakit tersebut tidak serta-merta hilang tanpa sebab-musabab sebagaimana
datangnya, namun disertai pengobatan medis dan mengkonsumsi obat tradisional.
Menurut kebiasaan Dayak Mualang, orang yang sembuh
dari sakit yang misterius biasanya mengadakan syukuran. Kini, Lugu sudah sehat
walafiat dan mampu bekerja seperti biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar