Jumat, 27 Juni 2014

ADAT ISTIADAT DAYAK MUALANG

A.    HUKUM PERKAWINAN ADAT DAYAK MUALANG
Pada awalnya di suku Mualang belum ada hukum perkawinan. Ketika itu mereka masih berada di Benua Tampun Jauh (di daerah Segumon, Kecamatan Balai Karangan, Kabupaten Sanggau). Aturan satu-satunya adalah tidak memperbolehkan pernikahan orang yang masih terikat hubungan darah. Bila aturan ini dilanggar, malapetaka akan terjadi di bumi. Untuk menghentikan malapetaka tersebut mempelai haram ini diikat dalam keadaan berpelukan kemudian ditembuskan dengan tombak, kemudian mayat mereka dilemparkan ke sungai. Inilah yang dialami oleh Juah dan Sangka yang kawin masih saudara sepupu. Peraturan itu akhirnya diubah ketika salah seorang putri Petara Seniba
sendiri yang membuat kesalahan. Beginilah garis besar kisahnya.
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pria bernama Keseka’. Sudah tujuh kali ia beristri dan semua perempuan itu meninggal dunia, Keseka’ merana. Penderitaannya menimbulkan rasa iba Petara Seniba. Petara Seniba menurunkan putrinya dari langit dalam sebuah ruas bambu besar. Nama putri itu adalah Dara Jantung. Ketika dua sejoli itu berjumpa, mereka saling jatuh cinta dan menikah. Kemudian, Dara Jantung melahirkan seorang anak laki-laki bernama Bujang Panjang. Setelah anaknya pandai berbicara, Dara Jantung terbang ke langit, kembali ke tempat asalnya. Ketika Bujang Panjang dewasa pergilah ia mencari ibunya sampai ke khayangan (langit). Di khayangan ia berjumpa ibunya dan adik bungsu ibunya yang sangat cantik. Mereka berdua saling jatuh cinta dan tidur bersama tanpa sepengetahuan Petara Seniba. Ketika kandungan putri bungsunya membesar dan mengetahui bahwa Bujang Panjang yang menghamilinya, marahlah Petara Seniba dan berkata kepada putrinya, “Kamu berdua telah berbuat dosa karena telah bersetubuh. Bujang adalah anak kakakmu, kalian tidak boleh kawin, kalian berdua telah melanggar adat Mali yang berat. Oleh karena itu, aku harus membunuh babi Pemali untuk menebus kesalahan kalian berdua.”
Maka bergegaslah Petara Seniba pergi mengambil 7 ekor babi Pemali. Ketujuh babi pemali itu dibunuh di tempat berlainan, antara lain:
1.    Babi pertama dibunuh di bumbung rumah (atap rumah), dipersembahkan kepada dewa-dewa yang berada di langit ketujuh supaya tidak menurunkan malapetaka ke bumi.
2.     Babi kedua dibunuh di dalam rumah dan darahnya dioles ke dahi dua sejoli tadi supaya dewa-dewa tahu keduanyalah yang melakukan kawin mali dan diharapkan tidak terulang lagi kepada turunannya.
3.    Babi ketiga dibunuh di ganggang rumah (serambi rumah), dipersembahkan kepada Senggalang Burung dan segala roh jahat, sebab kalau tidak diberi makan mereka mengacaukan orang yang kawin di dalam rumah.
4.    Babi keempat di bunuh di tanah, dipersembahkan kepada Puyang Gana (penguasa tanah), supaya tidak merusak tanaman.
5.    Babi kelima di bunuh di kebun buah-buahan, supaya pohon-pohon yang di tanam dapat tumbuh subur.
6.    Babi keenam dibunuh di pohon Lalau (pohon tempat lebah bersarang) supaya kalau kedua mempelai tadi memanjat pohon mengambil lebah madu tidak disambar petir.
7.    Babi ketujuh dibunuh di sungai dan dihanyutkan supaya raja Juata yang berdiam di air tidak mengutuk mereka berdua.
Berdasarkan upacara penebusan itu, Petara Seniba berpesan kepada Bujang Panjang apabila ia pulang ke bumi harus mengajarkan aturan-aturan itu dalam urusan perkawinan. Bujang Panjang pun turun ke bumi dan menerapkan aturan-aturan tersebut di bumi. Dari sinilah lahir hukum adat perkawinan Dayak Mualang, hukum ini berlangsung turun-temurun secara lisan dan disahkan oleh Pangeran Haji Gusti Ahmad yang menjadi wakil panembahan di Sekadau tahun 1928.
Adapun dalam prosesi adat perkawinan Dayak Mualang, ada hukum-hukum adat yang diberlakukan. Contohnya, Perkawinan Betaban (kawin lari). Perkawinan Betaban dibagi menjadi dua kategori yaitu Beramau (melarikan anak gadis orang) dan Berangkat (melarikan isteri orang).

1.      Beramau
Untuk Beramau mereka harus membayar denda babi pemali sebanyak 3 renti (1 renti = 11 cm diameternya) dan 6 tahil (1 tahil = 5 buah mangkok) + 1 tempayan.
2.      Berangkat
Untuk berangkat juga dikenakan denda babi 3 renti dan 1 ekor ayam. Selain itu hamil diluar nikah (ngampang) juga dikenai sanksi adat. Demikian juga kasus-kasus perzinahan, kawin mali, dikenakan sanksi adat berdasarkan keputusan temenggung adat setelah melalui proses perkara yang diketahui oleh masyarakat umum.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut Sapput, itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain.
Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.

B.     HUKUM ADAT PATI NYAWA DAYAK MUALANG
Membunuh baik sengaja atau tidak sengaja menurut hukum adat Dayak sangat tidak dibenarkan. Pelaku pembunuhan ini dengan sendirinya dikenakan adat Pati Nyawa. Tidak heran jika terjadi pembunuhan, maka pelakunya akan dikenakan hukum adat yang sangat berat. Tapi tidak berarti bahwa korban akan sebebas mungkin menuntut jumlah adat yang sebesar-besarnya kepada pelaku. Ketentuan tidak tertulis ini berlaku dalam adat Pati Nyawa Dayak Mualang. Hukum adat Pati Nyawa secara struktur berbeda dengan adat perdamaian.
Tujuannya adalah untuk menghindari pertikaian yang berujung pada dendam kesumat. Bila terjadi hal seperti ini maka hukum yang dipakai adalah hukum adat perdamaian. Hukum ini secara umum adalah untuk mencari solusi tepat bagi kedua belah pihak yang terkait masalah.
Salah satu contoh adat Pati Nyawa dikenakan pada Ita seorang ibu tiri yang membunuh anaknya Adop yang berusia 8 tahun. Ita melakukan perbuatannya pada 21 Agustus tahun 2001 di daerah Sepantak Desa Sungai Ayak II Kecamatan Belitang Hilir Kabupaten Sekadau). Akibat perbuatannya, Ita dijatuhi hukuman adat membayar denda sebesar Rp 15 juta. Jumlah ini menjadi besar karena menurut adat Pati Nyawa Mualang, semua bagian tubuh korban dihitung dalam takaran adat.
Secara rinci hukuman yang dikenakan pada Ita sebagai beriku:
1.      Tubuh (badan) diganti dengan Tajau Bulu Bayan 1 buah, dengan denda adat 40 real atau setara dengan Rp 4 juta.
2.      Pa (paha) diganti dengan Lila Tembaga 1 buah, dengan denda adat 35 real setara dengan Rp 3,5 juta.
3.      Suara diganti dengan Tawak Lima Keliling 1 buah, dengan denda adat 15 real atau Rp 1,5 juta.
4.      Palak (kepala) diganti Manduh 1 buah, dengan denda 5 real atau             Rp 500 ribu.
5.      Penengak (telinga) diganti Par Tembaga 1 buah, denda 2 real atau         Rp 2 juta.
6.      Mata diganti duit Perak 2 keping, denda 2 real senilai Rp 200 ribu.
7.      Idung (hidung) diganti Beliung dan Perdah 1 pasang, denda 1 real senilai Rp 100 ribu.
8.      Buuk (rambut) diganti Utun Ijuk Unau 1 Utun (ikat), denda ½ real atau Rp 50 ribu.  
9.      Dilah (lidah) diganti Buah Penawan 1 buah, denda 2 real atau                 Rp 200 ribu.
10.  Gigi diganti Langkek 1 buah, denda ½ real senilai Rp 20 ribu.
11.  Untak (otak) diganti Emas Murni 5 gram, denda 5 real setara                    Rp 500 ribu.
Selain dari itu segala sesuatu yang berfungsi pada organ tubuh manusia seperti tulang, urat, jantung dan lain-lain juga dinilai dalam hitungan sanksi adat.
12.  Tulang diganti Besi Spring 1 batang, denda 1 real atau Rp 100 ribu.
13.  Urat diganti Kawat Waja 25 sta, denda 1 real atau Rp 100 ribu.
14.  Tusu (susu) diganti dengan Selpa Tembaga 2 buah, denda 1 real atau  Rp 100 ribu.
15.  Jantung diganti Gelas Perak 1 buah, denda 2 real senilai Rp 200 ribu.
16.  Ati (hati) diganti Cincin Mata Delima 1 buah, denda 6 real atau               Rp 600 ribu.
17.  Perut diganti Rantai Manila/Perak 7 sta, denda 7 real atau Rp 700 ribu.
18.  Kemalu (kemaluan) diganti dengan Gernong Baukir 1 buah, denda 5 real atau Rp 500 ribu.
19.  Tapak (telapak) diganti Pinggan Patah Jelapan 4 buah, denda ½ real atau Rp 50 ribu.
20.  Tunjuk (jari) diganti Serpang Mata Lima 1 buah, denda ½ real seharga Rp 50 ribu.
21.  Tanaga (kekuatan) diganti Manuk Renjau (ayam jantan) 1 ekor, 3 kg denda atau ½ real Rp 50 ribu.
22.  Kulit diganti Bidai 7 Dejak 1 belah, denda 2 real atau Rp 200 ribu.
23.  Peramu (pakaian) diganti 1 Kain Tenun Sirat, denda 1 ½ real setara       Rp 150 ribu.
24.  Darah diganti 1 buah Tajau diisi Beram (tuak) 10 botol, denda 4 real setara Rp 400 ribu.
25.  Penantai darah (tempat tampungan darah) diganti Par Tembaga 1 buah denda, atau 2 real Rp 200 ribu.
26.  Gemuk-isek (lemak-daging) diganti Beras Pulut 5 kulak (gantang), denda ½ real atau Rp 50 ribu.
27.  Adat I (adat tambahan yang harus dilaksanakan) diganti Babi 1 renti     (20 kg) sebanyak 60 kg, denda 6 real atau Rp 600 ribu.
28.  Adat II (adat tambahan) diganti Manuk Tumbuh Tugang 3 kg sebanyak 1 ekor, denda ½ real atau Rp 50 ribu.
29.  Adat III (adat tambahan) diganti Beras biasa 50 kg sebanyak 20 kulak, denda 1 real atau Rp 100 ribu.
Begitu lah detailnya hukum adat merinci bagian tubuh manusia dalam adat Pati Nyawa Dayak Mualang, ini menunjukkan juga penghargaan yang sangat tinggi terhadap seorang manusia. Meninggalnya seseorang berarti kehilangan yang sangat besar, karenanya pelakunya harus dijatuhi hukuman yang setimpal.
C.     HUKUM ADAT TUNGU ANTU DAYAK MUALANG
Hari itu, Lugu seorang warga Kampung Semadu, Kecamatan Belitang Hilir, Kabupaten Sekadau berjuang melawan sakit perut yang menderanya. Perutnya rasa ditusuk, rasa sakitnya luar biasa, tidak jelas apa penyakit yang menyerangnya. Berbulan lamanya ia menderita sakit tersebut. Pihak keluarga Lugu telah mengusahakan berbagai cara pengobatan, dari mantri hingga paranormal.
Setelah hampir putus asa mencari obat, suatu hari keluarga dan beberapa rekannya teringat bahwa mereka telah mengganggu pinggir kuburan Kampung Semadu. Saat itu mereka membuat teradak atau rintisan batas ladang dengan pinggir hutan untuk menghindari api tidak menjalar saat membakar, sayangnya rintisan teradak ada yang mengenai pinggir kuburan.
Keluarga Lugu menduga penyakit yang diderita Lugu pasti berawal dari soal teradak tersebut. Teradak yang mengenai pinggir kuburan, telah membuat penghuni kuburan murka dan dilampiaskan kemarahannya kepada Lugu, sehingga ia sakit keras. Menurut keyakinan orang Dayak Mualang, pada saat melakukan aktivitas berladang seperti menebas, menebang, membakar pada lahan yang berdampingan dengan kuburan, kegiatan tersebut tidak boleh mengakibatkan kayu di sekitar kuburan layu atau terbakar apalagi sampai mengganggu pekuburan.
 Kegiatan yang mengganggu tersebut dapat mengakibatkan roh penghuni kuburan marah dan orang yang dikira mengganggu dapat ditimpa kemalangan atau penyakit. Jika orang yang bersangkutan merasa mengalami penyakit atau musibah yang tidak diketahui penyebabnya dan orang tersebut merasa kegiatan atau tindakannya telah secara sengaja atau tidak sengaja mengganggu kuburan, orang itu dapat mengadakan adat membayar denda kepada hantu atau roh penghuni makam yang disebut Tungu Antu atau Nyurung Adat ka Antu.
Kasus penyakit misterius yang menimpa Lugu, telah meyakinkan Lugu dan keluarganya bahwa hal itu disebabkan oleh tindakan mereka yang telah mengakibatkan roh di kuburan marah. Kemudian, keluarga Lugu memanggil Muri Entubik Temenggung Adat Semadu untuk memutuskan perkara dan membantu menjalankan adat Tungu Antu.
Menurut Muri, ketentuan denda adat untuk Tungu Antu adalah 3 tail mangkal = 15 buah mangkok, 1 ekor ayam, 1 botol tuak.Ayam dan tuak harus dihabiskan di tempat upacara adat saat itu juga. Lalu mangkok, ayam dan tuak diantar ke kuburan, atau bisa juga disimpan di jalan menuju ke makam. Sedangkan materi adat seperti mangkok ditinggal selama 3 hari 3 malam, setelah itu diambil lagi.
Ketika meletakkan denda adat di lokasi kejadian, penyurung adat atau temenggung pemutus perkara mengucapkan kata-kata, “Mali adai te bunuh ka bukuh, te tunan ka rian, adai nama’ nangkak; to’ utang to’ kami malas, antek ulun to’ kami ngelepas, nang kita’ ngaru ngericau” yang artinya “Mungkin ada kami menebang-membunuh cempedak, durian, dan nangka, ini hutang kami bayar, jika ulun ‘pembantu orang mati di kuburan’ ini kami lepaskan, jangan kalian mengacau-mengganggu kami lagi.”
Setelah tiba di rumah si sakit, pemutus perkara adat mengucapkan kata-kata, “To’ apa muah apa nacah, upa sengkit upa selama, upa suba’ upa mula, baik panci, angas ngalah, nema buat adat udah de surung” yang artinya “Ini sudah tidak ada yang menyebabkan sakit lagi, sudah bagus, sudah sehat karena adat sudah dipenuhi.”
Kemudian 3 malam berikutnya mangkok diambil. Menurut Muri, mangkok tidak boleh ditinggal lebih dari 3 malam, tapi ada toleransi sampai 4 malam. Ketika mengambil mangkok, tidak ada adat lagi. “Mengenai denda adat, tidak boleh diganti dengan benda apa pun,” kata Muri.
Setelah Lugu dan keluarganya mengadakan adat Nyurung Adat ka Antu, penyakit misterius yang dideritanya berangsur sembuh. Tentu, penyakit tersebut tidak serta-merta hilang tanpa sebab-musabab sebagaimana datangnya, namun disertai pengobatan medis dan mengkonsumsi obat tradisional.
Menurut kebiasaan Dayak Mualang, orang yang sembuh dari sakit yang misterius biasanya mengadakan syukuran. Kini, Lugu sudah sehat walafiat dan mampu bekerja seperti biasanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar